Logo_Institut_Teknologi_Bandung

Artifacts – Fortifikasi

Fortifikasi Pangan

  1. Pernahkah Anda mendengar istilah fortifikasi pangan? Sebenarnya, istilah tersebut sudah lahir sejak lama, lho. Mari kita simak artikel berikut ini.
    Fortifikasi pangan merupakan upaya penambahan zat gizi seperti vitamin dan mineral ke dalam makanan yang secara alamiah tidak terkandung dalam makanan tersebut. Fortifikasi pangan muncul melalui pendekatan sistematis untuk memperbaiki kekurangan nutrisi yang diidentifikasi dalam populasi, salah satunya dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1924, yakni upaya penambahan yodium pada garam setelah sejumlah organisasi kesehatan menyatakan bahwa yodium berguna untuk mencegah penyakit gondok. Kemudian pada tahun 1930-an hingga 1940-an teridentifikasi sindrom penyakit defisiensi spesifik untuk pertama kalinya di Amerika Serikat. Akibatnya, Komite Pangan dan Gizi (sekarang Food and Nutrition Board [FNB]) merekomendasikan penambahan thiamin, niacin, riboflavin, dan zat besi ke dalam tepung untuk meningkatkan status gizi penduduk.
    Awal mula perkembangan fortifikasi pangan di Indonesia berkaitan dengan program yodisasi garam yang sudah berjalan di luar negeri. Pada tahun 1924, pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan mengenai yodisasi garam pada satu-satunya produsen garam, yaitu PN Garam di Madura. Setelah periode kemerdekaan, produsen garam makin banyak dan dibuatlah instruksi presiden mengenai wajib yodisasi garam pada tahun 1994. Tidak berhenti di situ, pada tahun 1997 dikenal fortifikasi zat besi pada tepung terigu yang kemudian mendorong terbitnya SNI wajib fortifikasi tepung terigu pada tahun 2001-2002. Fortifikasi kedua jenis zat gizi tersebut diprakarsai oleh lintas sektor, yaitu Bappenas, Departemen Kesehatan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, dan didukung oleh UNICEF.
    Secara umum, fortifikasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu fortifikasi wajib dan fortifikasi sukarela. Fortifikasi wajib merupakan upaya penambahan nutrisi pada makanan yang telah diatur secara resmi oleh pemerintah sehingga memiliki SNI (Standar Nasional Indonesia) dan wajib dilakukan oleh produsen pangan berkaitan. Beberapa produk pangan yang wajib difortifikasi di antaranya adalah yodisasi garam (SNI 3356:2016), vitamin A pada minyak goreng sawit (SNI 7709:2019), dan zat besi pada tepung terigu (SNI 3751:2018). Sedangkan, fortifikasi sukarela adalah fortifikasi yang dilakukan industri pangan terhadap produknya sesuai target konsumen yang ingin mereka capai.
    Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, fortifikasi merupakan upaya penanggulangan masalah kesehatan pada masyarakat. Salah satunya, berdasarkan Surat Menteri Kesehatan ke Menteri Perindustrian No. GM.04.04/Menkes/62/2017 tanggal 7 Februari 2017, yaitu permasalahan anemia gizi di Indonesia yang masih sangat tinggi dengan persentase anemia pada ibu hamil mencapai 37,1%; pada lansia di atas 75 tahun sebesar 46%; dan kelompok usia 25-34 tahun adalah 16,9%; dengan rata-rata 21,7%. Oleh karena itu, dicanangkanlah fortifikasi tepung terigu untuk menurunkan masalah anemia dengan penambahan mikronutrien, seperti zat besi (Fe), seng (Zn), vitamin B1 (thiamine), vitamin B2 (riboflavin), dan asam folat yang diwajibkan sejak tahun 2001 melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.323/MPP/Kep/11/2001 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 153/MPP/Kep/5/2001 Tentang Penerapan Secara Wajib SNI Tepung Terigu Sebagai Bahan Makanan.
    Produk tepung terigu yang beredar baik dari industri dalam negeri maupun impor umumnya menggunakan Fe-elemental (iron elemental) sebagai mikronutrien zat besi. Namun, berdasarkan kajian WHO, Fe-elemental dinilai kurang efektif menjadi fortifikan karena bioavailabilitas dan tingkat absorpsinya yang rendah. Sehingga, Kementerian Kesehatan RI melalui Direktorat Gizi Masyarakat memutuskan untuk mengganti fortifikan zat besi dengan fortifikan lain yang memiliki bioavailabilitas yang tinggi, seperti Fe-sulfat, Fe-fumarat, dan NaFeEDTA.
    Pertanyaan yang mungkin terbersit dalam pikiran Anda sekarang adalah bagaimana batas aman konsumsi mikronutrien dari pangan terfortifikasi bagi tubuh? Perlu diingat bahwa mikronutrien merupakan zat gizi yang diperlukan tubuh dalam jumlah sedikit, tetapi memiliki peranan penting dalam aktivitas enzim, pembentukan hormon, serta sistem imun dan reproduksi. Kebutuhan mikronutrien setiap individu bergantung pada usia, jenis kelamin, atau kondisi biologis lainnya. Sebagai contoh, batas konsumsi harian vitamin C pria dewasa (usia 19-50 tahun) adalah 90 mg dan wanita dewasa adalah 75 mg. Lalu, batas konsumsi harian kalsium pria dan wanita dewasa adalah 1000 mg. Orang yang mengonsumsi kalsium sebanyak 1500-1999 mg per hari memiliki risiko mengalami kanker prostat dua kali lebih besar dibandingkan orang yang mengonsumsi kalsium hanya sebanyak 500-749 mg per hari. Maka dari itu, sangat penting bagi setiap orang untuk memperhatikan batas konsumsi mikronutrien setiap harinya.
    Secara umum, fortifikasi pangan memiliki dampak positif dalam peningkatan kualitas kesehatan manusia yang lebih besar dibandingkan risikonya. Lagi pula, risiko akibat konsumsi mikronutrien berlebihan dari pangan terfortifikasi dapat dihindari dengan menjalani pola hidup sehat dan senantiasa mengonsumsi makanan bergizi seimbang. Jadi, sudah tahukah Anda bahwa sebagian besar makanan yang Anda konsumsi merupakan produk pangan terfortifikasi?

Sumber :
Adawiyah, D., Muhandri, T., Subarna, & Sugiyono. (2019). Pengaruh Fortifikasi Zat Besi Menggunakan Fe-Sulfat, Fe-Fumarat, Na Fe EDTA Terhadap Kualitas Sensori Produk-Produk Olahan Tepung Terigu. Jurnal Mutu Pangan, 6(2), 54-62. https://doi.org/10.29244/jmpi.2019.6.54
Helmyati, S., Yuliati, E., Pamungkas, N. P., & Hendarta, N. Y. (2013). Fortifikasi Pangan Berbasis Sumber Daya Nusantara: Upaya Mengatasi Masalah Defisiensi Zat Gizi Mikro di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat. (2019). Perbaiki Gizi, Pemerintah Lakukan Fortifikasi Pangan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20190219/1729527/perbaiki-gizi-pemerintah-lakukan-fortifikasi-pangan/
Micronutrients in Health and Disease. (2020). In Barnard, N. D. (Ed.), Nutrition Guide for Clinicians (3rd edition). Physicians Committee for Responsible Medicine. https://nutritionguide.pcrm.org/nutritionguide/view/Nutrition_Guide_for_Clinicians/1342057/all/Micronutrients_in_Health_and_Disease
Olson, R., Gavin-Smith, B., Ferraboschi, C., & Kraemer, K. (2021). Food Fortification: The Advantages, Disadvantages and Lessons from Sight and Life Programs. Nutrients, 13(4), 1118. https://doi.org/10.3390/nu13041118
Pike, V., & Zlotkin, S. (2018). Excess micronutrient intake: defining toxic effects and. Annals of the New York Academy of Sciences, 1446(2019), 21–43. https://doi.org/10.1111/nyas.13993

Penulis :
Fauzi Rahmat Abdilah (PG’20)

Faza Athifah Razani (PG’20)