DISPERSION 1.0
Studi Teknik Pemrosesan Biji Kopi dan Pengolahan Limbah Pemrosesan Biji Kopi
Yosi Oxanna D. dan Ruwita Sari M.
Kopi merupakan salah satu minuman yang banyak digemari karena aroma dan rasanya yang khas. Awal mula pengolahan kopi menjadi bahan pangan adalah dengan cara menghancurkan biji kopi, lalu menambahkan minyak ke dalam biji yang sudah hancur hingga membentuk adonan. Adonan ini umum dijadikan sebagai makanan sehari-hari. Saat ini, masyarakat memiliki preferensi masing-masing terhadap kopi, tetapi mayoritas setuju bahwa kopi berkualitas baik harus berwarna hitam dan memiliki rasa pahit. Karakteristik kopi tersebut dapat diperoleh melalui proses pasca panen pengolahan biji kopi yang baik serta proses pengolahan biji, tepatnya tahapan penyangraian (roasting).
Tanaman kopi tumbuh optimum di daerah tropis sehingga tidak heran apabila Indonesia berada di urutan nomor empat sebagai negara penghasil kopi terbanyak di dunia. Jenis kopi yang banyak dibudidaya di Indonesia adalah kopi arabika, robusta, liberika dan excelsa. Salah satu tempat penghasil kopi arabika di Indonesia adalah Desa Nanggerang, Kecamatan Sukasari, Sumedang, Jawa Barat. Pertumbuhan tanaman kopi di Desa Nanggerang tidak sepenuhnya menghasilkan hasil panen yang bagus akibat kondisi lingkungan seperti sumber air yang tidak merata dan pemupukan yang tidak maksimal. Proses pemanenan kopi dilakukan setiap 2 minggu sekali dengan sekali panen sekitar 1-2 kuintal buah kopi (coffee cherry). Kopi tersebut dijual dengan harga sekitar Rp 7.000 hingga Rp 14.000 per kg.
Berdasarkan analisis kondisi yang telah dilakukan kepada perwakilan petani Desa Nanggerang, para petani kopi belum melakukan pengolahan terhadap hasil panen kopinya. Buah kopi yang baru dipetik dari pohon langsung dijual kepada pedagang perantara atau yang biasa disebut sebagai tengkulak. Sangat disayangkan jika buah kopi yang seharusnya bisa melalui proses pengolahan pasca panen dan dapat menghasilkan nilai jual yang jauh lebih tinggi malah tidak pernah diolah sama sekali. Kondisi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah mayoritas petani Desa Nanggerang masih minim pengetahuan terkait pengolahan pasca panen buah kopi. Terlepas dari itu, mayoritas petani juga kurang termotivasi untuk mengolah kopi karena kurangnya informasi perbandingan harga sebelum dan sesudah pengolahan. Para petani tidak mengetahui bahwa biji kopi yang sudah diolah dapat dijual dengan harga empat hingga lima kali lipat dari harga buah kopi yang belum diolah sama sekali.
Pada tahun 2019, HMPG ITB menyumbangkan satu mesin huller yang berfungsi untuk mengupas kulit kopi. Namun, sangat disayangkan, sampai Oktober 2022, mesin itu masih belum digunakan akibat kurangnya penyuluhan sehingga petani Desa Nanggerang belum mahir mengoperasikan mesin huller tersebut. Selain itu, para petani kekurangan lahan untuk menempatkan mesin dan limbah kulit kopi jika mesin huller dioperasikan. Saat ini HMPG ITB bekerja sama dengan MTI ITB, HMM ITB, dan petani Desa Nanggerang untuk memajukan pengolahan pasca panen buah kopi. Hal tersebut dimulai dengan penelitian biji kopi dari petani Desa Nanggerang, yang nantinya menjadi pertimbangan dalam pengolahan buah kopi itu sendiri. Kopi hasil panen akan diolah secara sederhana sampai menghasilkan produk antara berupa biji kopi kering. Sebelum sampai ke tahap itu, petani kopi akan diajarkan cara mengoperasikan mesin huller, mengolah limbah kulit kopi menjadi pupuk organik, dan proses-proses lainnya yang berkaitan dengan pasca panen.
Berdasarkan hasil studi literatur, dalam pengolahannya, buah kopi (coffee cherry) yang baru dipetik harus melalui beberapa pilihan proses untuk menjadi biji kopi hijau (green bean). Proses pemetikan kopi dari pohonnya membutuhkan teknik khusus karena proses ini sangat mempengaruhi rasa dan kualitas dari biji kopi. Proses pemetikan dilanjutkan dengan proses pencucian buah kopi yang terdiri atas dua metode, yaitu metode basah dan metode kering. Dalam metode basah terdapat dua pilihan metode yang bisa dilakukan, yaitu semi wash dan full wash, sementara dalam metode kering terdapat dua pilihan metode juga, yaitu honey process dan natural process. Metode tersebut digambarkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Metode Pengolahan Biji Kopi (Sumber: Mulato, 2019)
Secara umum metode kering memiliki lebih banyak risiko dibandingkan metode basah. Buah kopi yang terlalu kering karena terlalu lama dijemur dapat menyebabkan biji kopi mudah pecah dan retak ketika dimasukkan ke dalam hulling machine ataupun saat proses transportasi. Metode basah dinilai relatif aman untuk dilakukan oleh kebanyakan petani dibandingkan proses kering. Proses pengolahan ini diharapkan mampu diaplikasikan di Desa Nanggerang melalui pengedukasian kepada para petani untuk membangkitkan motivasi pengolahan biji kopi. Dengan demikian, produk antara biji kopi dapat menghasilkan nilai jual yang lebih tinggi dan meningkatkan keuntungan bagi petani Desa Nanggerang.
Referensi:
https://www.gordi.id/blogs/updates/proses-pasca-panen-dalam-kopi
https://www.cctcid.com/2019/09/17/peran-fermentasi-dalam-panen-dan-pascapanen-kopi/